CINA UDIK: Lari Dari Pembantaian, Hidup Dalam Ketakutan (Bagian 1)


Mendengar kata udik mungkin sebagian orang menganggapnya kampungan, pedalaman atau rendahan. Padahal menurut kamus Bahasa Indonesia arti dari kata Udik berarti Selatan sama seperti  Ilir yang berarti Utara.

Nama-nama tempat di Jakarta secara tradisional juga asalnya Ilir (bukan Hilir) dan Udik, sebelum sekarang diganti menjadi Utara dan Selatan (KECUALI Bendungan Ilir, yang jadi Bendungan Hilir). Rupanya, karena kesalahpahaman ini, banyak yang merasa gerah tempat tinggalnya disebut "Udik". Padahal, makna Udik ya Selatan itu, tak lebih, tak kurang.

Mengapa juga Panongan (termasuk Cukang Galih), Curug (termasuk Ranca Iyuh, Ranca Kalapa, Cirarab, Ciodeng, dan Ranca Kebo), Legok, Tigaraksa (termasuk Sodong), dll disebut UDIK, dan sebaliknya Kampung Melayu, Tanjung Burung, Tegalangus, Lemo, Kedawung, Selapajang, Bojongrenged, Kajangan, Blingbing, Cengklong, Kosambi, Dadap dll disebut ILIR, sehingga orang Tionghoa penduduk aslinya juga disebut CINA UDIK dan CINA ILIR? Lantaran tempat-tempat itu secara GEOGRAFIS memang terletak di SELATAN dan UTARA BENTENG (Tangerang).€

Ari Novi seorang pemerhati Sejarah Cina Udik di Tangerang berujar “Tidak mudah mengungkap sejarah Cina Udik di Panongan dan wilayah pedalaman Kabupaten Tangerang lainnya. Hampir tidak satu pun dari kalangan tua masyarakat Cina Benteng mewariskan cerita lisan tentang kedatangan nenek moyangnya ke wilayah itu”.

Pengetahuan mereka akan sejarah relatif terbatas pada kehidupan orang tua mereka, atau kakek mereka," ujar Ari Novi. "Yang mereka tahu adalah bertani, dan bertani, menjual hasil bumi jika terjadi kelebihan produksi."

25 Marga
Menurut Ari Novi yang juga pernah menjadi Camat Panongan, terdapat lebih 25 marga di masyarakat Cina Udik di Panongan, Tigaraksa, Legok, dan Curug. Yang terbesar, tapi bukan dominan, adalah marga `Oen'. Lainnya adalah Oey (wie), Tan, Lim, dan dan belasan lainnya.

Dibanding permukiman Cina Benteng lainnya, Panongan paling multimarga. Namun mereka tidak mengenal pemimpin marga atau klan. Bahkan, sebelum desa mereka dibagi ke dalam RT dan RW, mereka tidak mengenai pemimpin permukiman, atau kepala kampung.

Yang mereka ketahui adalah Si A pewaris rumah kongsi yang bertugas menjaga meja abu, dan berhak atas seluruh tanah leluhurnya. Atau Si B yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan marga Lien atau Oey.

Cina Udik, menurut Ari Novi, adalah fenomena. "Mereka sangat berbeda dibanding masyarakat Cina Benteng lain yang dikenal masyarakat selama ini," ujarnya.

Lari Dari Pembantaian
Tidak mudah menjelaskan semua ini. Namun, menurut Ari, semua berawal dari Pemberontakan Cina 1740 di Batavia. Pemberontakan yang dipimpin Kapitan Nie Hoe Kong itu direspon secara keji oleh Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier. Pada 10 Oktober 1740 terjadi pembantaian di seluruh sudut Batavia. Sebanyak 10 ribu orang tewas, ratusannya lainnya terluka.

Nie Ho Kong memimpin pelarian ke Jawa Tengah, dan sampai ke Solo. Ma Uk memimpin rombongan pelarian menyusuri pantai utara Tangerang, dan berhenti di wilayah yang sekarang disebut Mauk.

Rombongan lainnya menyusuri Sungai Cisadane, sebagian berhenti di Sewan, Neglasari, dan wilayah-wilayah sekitar. Mereka yang merasa belum aman di Sewan,dan Neglasari, melanjutkan perjalanan lebih ke udik. Sesampai ke tanah kosong bernama Karawaci, mereka menyeberangi Sungai Cisadane.

"Sesuai Perjanjian Damai 10 Juli 1659, tapal batas Kesulatanan Banten dan VOC adalah Sungai Cisadane," kata Ari Novi. "Sebelah Timur Sungai Cisadane masuk wilayah VOC. Sisi barat Kesultanan Banten".

Jika ingin aman, kata Ari Novi, orang Cina harus menyeberangi Sungai Cisadane. Itulah yang dilakukan nenek moyang Cina Udik di Panongan, Tigaraksa, Curug, Legok, Balaraja, dan lainnya. 

Share on :
Comments
0 Comments