Di Kesultanan Banten, Cina pelarian ini dilindungi Sultan Haji.
Dimukimkan di wilayah-wilayah tanpa penduduk, dan diberi kebebasan membangun
permukiman, mengolah lahan, dan membangun persawahan. Hampir tidak ada
panetrasi aparat kesultanan.
Mereka yang tiba di Panongan mendapat perlindungan sepenuhnya dari
prajurit Kesultanan Banten, yang biasa datang ke wilayah itu untuk melakukan
pengintaian.
Panongan berasal dari noong, kata dalam bahasa Sunda yang artinya intai.
Panongan berarti tempat pengintaian. Letak desa ini secara ekstrem jauh lebih
tinggi, dari wilayah lain. Dari Panongan, prajurit Banten bisa mengontrol garis
dan zona demarkasi, dan melihat pergerakan tentara VOC di seberang Sungai
Cisadane.
Tidak sulit membuktikan hal itu. Jika Anda berdiri di depan rumah Oen
Tjun Kim, seluruh wilayah persawahan dan perumahan Citra Raya tampak jelas.
Terdapat dugaan rombongan pertama yang sampai ke Panongan masih satu
marga,yaitu Oen. Sedangkan marga-marga lain, yang lari dari Sewan, Neglasari,
Bogor, atau pindah dari Legok, adalah rombongan dari lain marga.
Kedatangan masyarakat Cina dari lain marga membuat tidak terjadinya incest,
atau perkawinan satu marga. Masing-masing marga mengembangkan diri. Oen, Lim,
Tan, Oey, dan puluhan lainnya, hidup berdampingsan, saling mengisi, dan
melengkapi.
Permukim awal Panongan bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Hampir seluruh hasil panen, padi dan sayuran, serta ternak,
dikonsumsi diantara mereka. Kalau pun ada yang didistribusikan keluar, relatif
hanya untuk ditukar dengan garam dan gula.
Mereka membangun rumah-rumah pertama secara bergotong-royong, mulai dari menebang
pohon, membuat balok-balok kayu, dan papan, sampai mendirikan rumah. Seiring
perjalanan waktu, jumlah mereka berkembang biak. Para lelaki tetap tinggal di
desa, mewarisi rumah leluhur, kaum perempuan dibawa suami keluar kampung.
Hidup Dalam
Ketakutan
Ketika Banten melemah, dan akhirnya dikalahkan VOC, masyarakat Cina Udik
di Panongan hidup tanpa perlindungan. Ancaman pencurian, perampokan,
pemerkosaan, dan pembunuhan, menghantui mereka selama sekian puluh tahun.
Ari Novi tidak bisa mengidentifikasi sampai berapa lama suasana ini
berlangsung. Ia hanya menemukan sejumlah bukti masih banyak rumah masyarakat
Cina di Panongan, Tigaraksa, Legok, dan Curug, dilengkapi lubang perlindungan.
"Bunker terletak di bawah ranjang. Fungsinya untuk bersembunyi
tatkala terjadi penyerbuan oleh perampok," kata Ari Novi.
Segalanya menjadi sangat rumit ketika mereka mulai keluar kampung untuk
membawa hasil bumi akibat terjadinya kelebihan produksi. Terlebih, tatkala VOC
kian mapan, kongsi dagang itu memberlakukan sistem mata uang untuk menarik
semua masyarakat ke dalam ekonomi pasar.
Solusi bagi mereka adalah dengan menyewa jawara sebagai pengaman. Jawara menjamin
keselamatan permukiman mereka, dan mengawal mereka sampai ke pasar. Poros niaga
mereka adalah Pasar Curug dan Cikupa.
"Dua pasar itu menjadi besar karena menjual hasil bumi dan ternak
dari sini," kata Budi RKG, pengamat Cina Benteng.
Jawara yang mencalonkan diri sebagai kepala desa akan selalu meminta
dukungan, suara dan dana, dari masyarakat Cina. Situasi ini terlihat sampai
tiga tahun lalu, ketika seorang calon kepala desa Ranca kelapa dalam kampanye
terbuka di depan masyarakat Cina mengatakan jika dirinya terpilih tidak akan
ada maling kerbau, maling gabah, dan padi dipanen sebelum waktunya.
Bahkan ada Lurah yang kaya raya karena menikmati uang perlindungan yang disetorkan
Cina Benteng ke koceknya. Sang lurah adalah jawara, memiliki banyak anak buah,
untuk mengamankan sekaligus mengintimidasi.
Namun, masyarakat Cina Benteng bukan tidak pernah berupaya membuat
organisasi kemasyarakatan dan memilih pemimpin. Bukan tidak pernah pula mereka
berupaya mengamankan diri sendiri. Upaya itu selalu digagalkan para jawara.
(Bersambung)
[Baca Bagian III: CINA UDIK: Lari Dari Pembantaian, Hidup Dalam Ketakutan]
(Bersambung)
[Baca Bagian III: CINA UDIK: Lari Dari Pembantaian, Hidup Dalam Ketakutan]