CINA UDIK: Lari Dari Pembantaian, Hidup Dalam Ketakutan (Bagian 3 - Habis)



Masyarakat Cina Benteng di Panongan bukan satu-satunya yang harus tergantung pada jawara. Saudara mereka di Cengklong dan Kosambi, keduanya di Kota Tangerang, juga mengalamai nasib sama.

Jawara tidak setiap saat bisa menjaga mereka. Di saat-saat tertentu, ketika penjagaan kampung longgar, orang dari luar akan masuk; mencuri, merampok di siang bolong, atau sekadar membuat onar.

Cerita-cerita pemerkosaan di kampung selalu sampai ke telinga mereka, membuat mereka menjadi kerap merasa terancam. Mereka akan selalu mencurigai pendatang. Jika tak dikenal, mereka hanya mau menerima tamu di halaman rumah.

"Mereka menjadi sensitif. Hampir setiap rumah menutup pintu rapat-rapat setelah matahari terbenam."

Ari tahu semua itu saat dirinya menjadi Camat Panongan 2006/2006. Ia begitu merasakan bagaimana masyarakat Cina Benteng Panongan memandang dirinya. Ada semacam kecurigaan aparat akan meminta `uang jago' istilah untuk membayar jasa keamanan para jawara.

Bagi mereka yang tak memiliki banyak anak, sikap protektif diperlihatkan dengan menyekolahkan anak-anak mereka ke luar, dan setinggi mungkin. Banyak dari mereka berharap anak-anak mereka mampu hidup di luar dengan layak, dan tidak lagi berada di lingkungan tak aman.

Yang juga lebih menarik adalah tidak terjadi perkawinan campur di desa-desa masyarakat Cina Benteng di Panongan, karena mereka tidak berbaur dalam satu permukiman dengan pribumi. Masyarakat pribumi datang ke tempat mereka hanya untuk membeli hasil panen, dan komoditas tertentu. Tidak ada yang menetap dan beranak pinak.

Kontak dengan pribumi relatif hanya dilakukan di pasar, atau di tempat-tempat tertentu, saat terjadi transaksi. Inilah yang membuat mereka menguasai bahasa melayu, alat komunikasi paling banyak digunakan orang Tionghoa semasa Kolonial Belanda.

Satu hal lagi, masyarakat Cina Benteng di Panongan tidak mengenal `pernyaian', seperti saudara mereka di Teluk Naga, Mauk, dan kawasan pesisir Pantai Tangerang lainnya. Kemiskinan, dan status sosial yang rendah dibanding masyarakat Tionghoa lainnya di Tangerang, membuat mereka tak mungkin memiliki ca-bau, wanita pribumi simpanan.

Mereka tak tersinggung disebut Cina Udik, dan tak menyesal dianggap rendahan, karena mereka yakin nenek moyang mereka mengajarkan pentingnya menjaga keaslian genetis. sumber : republika

Share on :
Comments
0 Comments