Masyarakat Cina Benteng di Panongan bukan
satu-satunya yang harus tergantung pada jawara. Saudara mereka di Cengklong dan
Kosambi, keduanya di Kota Tangerang, juga mengalamai nasib sama.
Jawara tidak setiap saat bisa menjaga mereka.
Di saat-saat tertentu, ketika penjagaan kampung longgar, orang dari luar akan
masuk; mencuri, merampok di siang bolong, atau sekadar membuat onar.
Cerita-cerita pemerkosaan di kampung selalu
sampai ke telinga mereka, membuat mereka menjadi kerap merasa terancam. Mereka
akan selalu mencurigai pendatang. Jika tak dikenal, mereka hanya mau menerima
tamu di halaman rumah.
"Mereka menjadi sensitif. Hampir setiap
rumah menutup pintu rapat-rapat setelah matahari terbenam."
Ari tahu semua itu saat dirinya menjadi Camat
Panongan 2006/2006. Ia begitu merasakan bagaimana masyarakat Cina Benteng
Panongan memandang dirinya. Ada semacam kecurigaan aparat akan meminta `uang
jago' istilah untuk membayar jasa keamanan para jawara.
Bagi mereka yang tak memiliki banyak anak,
sikap protektif diperlihatkan dengan menyekolahkan anak-anak mereka ke luar,
dan setinggi mungkin. Banyak dari mereka berharap anak-anak mereka mampu hidup
di luar dengan layak, dan tidak lagi berada di lingkungan tak aman.
Yang juga lebih menarik adalah tidak terjadi
perkawinan campur di desa-desa masyarakat Cina Benteng di Panongan, karena
mereka tidak berbaur dalam satu permukiman dengan pribumi. Masyarakat pribumi
datang ke tempat mereka hanya untuk membeli hasil panen, dan komoditas tertentu.
Tidak ada yang menetap dan beranak pinak.
Kontak dengan pribumi relatif hanya dilakukan
di pasar, atau di tempat-tempat tertentu, saat terjadi transaksi. Inilah yang
membuat mereka menguasai bahasa melayu, alat komunikasi paling banyak digunakan
orang Tionghoa semasa Kolonial Belanda.
Satu hal lagi, masyarakat Cina Benteng di
Panongan tidak mengenal `pernyaian', seperti saudara mereka di Teluk Naga,
Mauk, dan kawasan pesisir Pantai Tangerang lainnya. Kemiskinan, dan status
sosial yang rendah dibanding masyarakat Tionghoa lainnya di Tangerang, membuat
mereka tak mungkin memiliki ca-bau, wanita pribumi simpanan.
Mereka tak tersinggung disebut Cina Udik, dan
tak menyesal dianggap rendahan, karena mereka yakin nenek moyang mereka
mengajarkan pentingnya menjaga keaslian genetis. sumber : republika